Monday, November 28, 2011

Indonesia Regional Economics


Pada saat krisis ekonomi 1997, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sampai dengan -13% yang megakibatkan pendapatan turun, banyak perusahaan bangkrut, pengangguran mencapai 20%, utang meningkat dan kemisikinan mencapai 25%. Pada kondisi krisis tersebut, para pengusaha pasti akan melakukan effisiensi dan kebanyakan wait and see melihat perkembangan ekonomi. Apabila kita bandingkan dengan krisis Amerika tahun 2007-2008 dengan kondisi yang hamper sama, Amerika hanya mengalamii pertumbuhan ekonomi -3%, PHK 9%, kemisikinan 15%.

Dari sini muncul pertanyaan, apakah yang membuat Indonesia sangat terpuruk disaat krisis pada tahun 1997 dan kenapa Amarika bisa lebih baik. Setelah dianalisa lebih dalam salah satu penyebabnya adalah karena ekonomi Amerika terdiri dari daerah-daerah  yang tidak semuanya terpuruk. Masih ada daerah-daerah di Amerika yang tumbuh baik.  Sedangkan apabila dibandingkan dengan Indonesia tahun 2007 ternyata ekonomi Indonesia sebagai besar tergantung dengan Jakarta. Yang mana akibat krisis saat itu mengakibatkan Jakarta mengalami masalah keamanan dan banyaknya perusahaan yang gulung tikar. Padahal kalau kita lihat lagi tidak semua daerah di Indonesia saat itu tumbuh negatif contoh Sulawesi masih tumbuh dengan export udang keluar negeri, Kalimantan yang memiliki tambang malahan tumbuh bagus karena kenaikan nilai dolar yang sangat berpengaruh ke nilai ekspor. Begitu juga daerah Yogya dan Jawa sekitarnya tidak terlalu terpengaruh krisis. Dari sini dapat kita lihat bahwa ekonomi Indonesia tidak homogen disemua daerah sehingga apabila pengusaha mengerti hal tersebut, mereka bisa melihat peluang bisnis didaerah lainnya yang masih tumbuh.

Hal ini yang menyebabkan ekonomi Indonesia sangat terpuruk ketika krisis karena pengusaha dan pemerintah menganggap bahwa ekonomi Indonesia itu homogeneus padahal sebenarnya tidak. Ekonomi Indonesia sudah menjadi hetereneus sehingga para ahli ekonomi perlu melihat Indonesia secara lengkap dari sisi tata ruang. Sehingga Regional economics perlu menjadi perhatian untuk menganalisa ekonomi Indonesia secara komprehensif yang membagi ekonomi berdasarkan daerah misal Indonesia dibagi menjadi bagian barat, bagian tengah dan bagian timur.

Apabila kita lihat kebelakang, hampir semua kota besar di Indonesia ataupun di dunia pada awalnya berada ditepi laut atau pinggir sungai besar. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas ekonomi didaerah tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang yang datang dan ekonomi menjadi berkembang didaerah tersebut. Namun disamping itu ada daerah yang tumbuh karena adanya mimpi dari penemu ataupun penguasa daerah tersebut, kita ambil contoh Texas yang bisa maju menjadi kota Judi dan wisata karena mimpi seorang mafia untuk memajukan kota tersebut. Contoh lainnya adalah kota Dubai berkembang pesat karena mimpi dari Sheikh Mohammed, penguasa UEA yang ingin menjadikan Dubai sebagai kota pariwisata sehingga ketika Minyak sudah habis maka akan pendapatan dari bisnis lainnya.

Tidak semua Negara terlalu mempunyai regional ekonomi hetereneous seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan karena daerahnya yang tidak terlalu luas. Sedangkan Indonesia pada awalnya sebelum Belanda menjajah indonesia hampir semua daerah memiliki kondisi ekonomi yang sama yaitu miskin. Kemudian setelah Belanda masuk, yang berkembang luarbiasa adalah Jawa karena masyarakat jawa lebih mudah diatur dan telaten yang mana ini ditandai dengan pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan untuk mempermudah transportasi di Jawa.

Setelah merdeka pun, pemerintah tetap melakukan sentralisasi sehingga yang berkembang hanya daerah yang dekat dengan pemerintahan yaitu daerah Jawa. Menjelang akhir orde baru pemerintah baru mulai menyadari bahwa terjadi kesenjangan dengan daerah lain sehingga perlu pemerataan diluar Jawa namun hal tersebut sudah terlambat dengan adanya reformasi. Kemudian setelah era orde baru muncullah otonomi daerah untuk meningkat pembangunan di daerah dan adanya pembagian tanggung jawab dan kewenangan ke daerah. Ini ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang isinya adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hal ini mengakibatkan mulai meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan terutama daerah yang kaya seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua.

Pertumbuhan penduduk rata-rata nasional di atas 10 tahun (1990-2000) sebesar 1,4%, namun dalam 10 tahun mendatang (2000-2010) kembali meningkat 1,49% terutama karena kontribusi pertumbuhan penduduk yang tinggi di wilayah Maluku dan Papua. Bahkan dalam jangka waktu 5 tahun (2005-2010) di wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara meningkat kepadatan penduduk lebih dari dua kali lipat. Namun distribusi yang adil dari populasi menunjukkan perubahan dalam kemajuan lambat, penurunan dalam distribusi penduduk di Jawa, terutama didukung oleh penurunan distribusi di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, sementara di Kalimantan, Sumatera, Maluku, dan Papua menunjukkan peningkatan. Distribusi tidak proporsional penduduk dan tekanan populasi yang semakin berat menunjukkan bahwa tidak ada penciptaan yang memadai dari poin acitivity ekonomi baru serta kualitas makin buruk dari program keluarga berencana. Dilihat dari distribusi jumlah penduduk di Jawa masih menguasai 60% dari total penduduk Indonesia sehingga rata-rata perusahaan ketika mendirikan pabrik pasti kebanyakan di jawa. Hal ini sama dengan dengan Jakarta, yang mana pada dasarnya hampir semua pengusaha lebih tertarik mendirikan bisnisnya di Jakarta karena besarnya pangsa pasar dan banyak perusahaan yang akan menjadi market potensial mereka.

Dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan signifikan dalam distribusi Gross Dometic Regional Product (GDRP) nasional. Sumatera dan Jawa masih dalam kisaran angka yang sama dengan kondisi 10 tahun lalu, sedangkan bagian-bagian dari Kalimantan dan Maluku-Papua bahkan menunjukkan kecenderungan menurun dari kondisi 10 tahun lalu. Dalam 5 tahun terakhir, Wilayah Indonesia Barat masih terus mendominasi perekonomian nasional dalam kisaran 82%.

Otonomi daerah pun yang telah berjalan selama 10 tahun terbukti gagal pada kesetaraan menjaga perekonomian nasional dan belum mampu melindungi stabilitas ekonomi provinsi lain diluar Jawa dan Sumatera.

Perbandingan antara luas daerah dengan GDRP terhadap perekonomian nasional menunjukkan bahwa Wilayah Indonesia Barat lagi-lagi mendominasi dengan luas hanya 31,93% dari wilayah nasional total tetapi mampu menguasai pangsa 82% dari perekonomian nasional, berbeda dengan wilayah timur yang meliputi wilayah darat 68,08% tetapi hanya mendapatkan porsi ekonomi sebesar 17%. Dominasi Wilayah Barat sangat mencolok karena kontribusi ekonomi Provinsi Jawa yang meliputi sekitar 6,77% luas tetapi mengontrol 57,80% dari perekonomian nasional. Buruknya dan ketimpangan infrastruktur antar daerah menghambat pemerataan pembangunan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi daerah yang terbelakang.
Tingkat kemiskinan baik secara nasional dan provinsi menunjukkan penurunan konsisten. Tapi beberapa daerah masih menunjukkan angka kemiskinan fluktuatif dan belum stabil, seperti: Papua, Papua Barat dan Gorontalo. Selama 7 tahun terakhir, tingkat pengangguran telah mencapai angka tertinggi setelah 11,24% pada tahun 2005, terus menunjukkan penurunan. Namun, konsentrasi pengangguran secara konsisten terjadi di wilayah: DKI Jakarta, Banten dan Maluku. Konsentrasi kegiatan ekonomi masih dikuasai Indonesia Wilayah Barat 81,53% dan penyediaan lapangan kerja hingga 82,22%. Kebanyakan investasi untuk membangun kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera menunjukkan dengan realisasi investasi domestik utama, bahkan realisasi investasi asing hanya di Jawa (83,45%).

Menghadapi kenyataan bahwa Indonesia Timur adalah wilayah yang tidak memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan bagian dari perekonomian nasional, tapi hal ini juga berpengaruh pada HDI indeks sosial (Indeks Pembangunan Manusia) dampak dari akses terbatas pada perekonomian nasional juga mempengaruhi rendahnya kualitas manusia, seperti yang ditunjukkan secara konsisten oleh wilayah: Irian Jaya Barat, Papua, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah yang memiliki skor IPM dari lima terendah selama lebih dari 12 tahun.

Dari sini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1.     Kesenjangan antar daerah di Indonesia telah terjadi sejak dulu.
2.   Kesenjangan ini tercermin baik pada aspek sosial (seperti populasi) dan bidang ekonomi (pendapatan daerah, pengangguran, dan juga investasi).
3.    Tingkat kemiskinan yang tinggi telah muncul di wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah dan GDRP yang lebih tinggi. Hal ini mencerminkan distribusi pendapatan tidak merata dan menjadi masalah di dalam provinsi tersebut.
4.   Ini telah melihat fakta umum bahwa bagian barat Indonesia jauh lebih makmur daripada bagian timur. Sumatera, Jawa, dan Kalimantan diyakini telah menerima bagian yang lebih menguntungkan dari pembangunan nasional.
5.     Otonomi daerah tampaknya belum bisa mengatasi kesenjangan antardaerah.

Catatan Kuliah Ibu Sri Adiningsih Ph.D

No comments: